Advertisement

Main Ad

Maqasid Indeks, Sebuah Revitalisasi Pengukuran Kesejahteraan


“Perekonomian tidak seperti labu raksasa yang tumbuh hingga jatuh tempo dan yang ukurannya dapat ditentukan pada setiap tahap dan dibandingkan dari satu musim ke musim berikutnya”
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) atau yang lebih dikenal dengan istilah Inggrisnya, Gross Domestic Product, merupakan suatu indeks dan rumusan kuantitatif yang umum digunakan untuk mengukur pendapatan suatu negara. GDP sering disebut sebagai ukuran tunggal yang paling baik dari suatu kesejahteraan masyarakat. Padahal GDP tidak memasukkan nilai tambah dari semua kegiatan yang terjadi di luar pasar. Rumus GDP yang paling sering dipakai (pendekatan pengeluaran) hanya memasukkan nilai Konsumsi, Investasi, Pengeluaran Pemerintah sertaNet Export. Selain itu, GDP juga tidak memasukkan kualitas polusi dan distribusi pendapatan. Sehingga tidaklah mengherankan jika meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia, dinyatakan terus meningkat sebesar 6% secara konstan, namun permasalahan kemiskinan, pengangguran serta kualitas hidup tidaklah berkurang secara signifikan atau bahkan tidak berkurang sama sekali.

Kita juga dapat melihat bagaimana Amerika, peringkatpertama GDP di dunia, memiliki rasio hutang sebesar93% dari GDP(Metrotvnews.com, Los Angeles, 11 November 2011).  Atau kita juga dapat melihat Jepang dengan rata-rata GDP-nya sejak tahun 1960 mencapai angka 2266.10 milyar dollar memiliki rasio hutang 220,3%  dari GDP (Economics Trading). Di sisi lain, Iran yang memiliki tingkat GDP hanya $411.4 milyar, jika dibandingkan dengan Amerikayang menempati urutan pertama, mengalahkan Amerika secara telak di bidang pendidikan.  Science-MetrXII dalam laporan hasil penelitiannya di Motreal Kanada menyebutkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan di Negara Iran sebelas kali lebih cepat dibandingkan negara-negara lainnya di dunia.
Dari kasus Amerika dan Iran di atas kita dapat melihat bahwa GDP tidak dapat dijadikan satu-satunya indikator kesejahteraan. Mengapa?GDP mungkin dapat dikatakan berhasil menghitung kegiatan ekonomi secara kuantitatif, namun GDP tidak dapat mengonter indeks kesejahteraan yang bersifat kualitatif. Bahkan, implementasi GDP sebagai indikator kesejahteraan dapat mendorong invidu-individu bahkan pemerintah berlaku tamak dalam menjalankan aktivitas berekonomi. Semua hal harus dipenuhi secara kuantitatif tanpa memperhatikan aspek manfaat dari kegiatan tersebut. Semua dilakukan untuk mencapai kepuasandiri sendiri atau dalam bahasa ekonomi disebutself interest.
Jadi adalah mungkin yang diungkapkan oleh Marx tentang teori surplus value, dimana buruh dimanfaatkan tenaganya untuk memenuhi target produksi yang akan mengantarkan pada keuntungan tanpa adanya justice salary yang sepadan dengan usaha buruh tersebut, atau dalam bahasa Milton Friedman,“mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya dengan biaya seminimal mungkin” akan mendorong terciptanya kesenjangan sosial. Inilah yang dikatakan Umer Chapra bahwa akan selalu ada gap antara makro, dan mikro. Saat negara yang dalam hal ini mengatur mekanisme makro dengan aturan-aturan yang ideal bertemu dengan mekanisme mikro yang bebas. Dan terkadang perhatian pemerintah terhadap hal-hal mikro masih terasa kurang. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana pemerintah mengalokasikan anggaran belanja antara pusat dan daerah.
. . .perlu dicatat bahwa 83,2 persen wilayah Indonesia merupakan kawasan pedesaan dengan total jumlah desase besar 74 ribu desa (survei PODES, 2006). Dari 74 ribu desa tersebut, 45 persen atau sekitar 32.500 desa merupakan desa tertinggal (miskin). Sementara di tingkat Kabupaten, dari total 399 Kabupaten yang ada di Indonesia 183 kabupaten diidentifikasi sebagai kabupaten tertinggal yang sebagian besar (60 persen) berada pada Indonesia bagian Tengah dan Timur. Makanya, sangat jelas jika arah kebijakan pemerataan dan perluasan pembangunan perlu difokuskan pada pembangunan daerah-daerah tertinggal, sehingga kesenjangan antar wilayah dapat direduksi secara perlahan, ujar Prof. Firmansyah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dalam metronews.com mengenai pola alokasi anggaran pemerintah. Pola alokasi anggaran yang tidak imbang ini tentu mempertajam kesenjangan antara mikro dan makro.
Pembangunan di tingkat makro, seperti peningkatan GDP, seolah dapat mengandeng dan membawa sektor mikro ke titik kesejahteraan,  seperti teori trickle down effect yang diharapkan dari teori invisible hand yang dipelopori ilmuwan yang diakui sebagai founding father ekonomi, Adam Smith. Dalam teorinya Smith berpendapat bahwa biarkanlah pasar bergerak dengan sendirinya, berikan kebebasan berekspresi kepada masyarakat dan minimalkan intervensi pemerintah terkait pajak dan kemudahan birokrasi,  sehingga nantinya ekspresi-ekspresi kebebasan yang membentuk sebuah skala ekonomi tersebut akan menciptakan keseimbangan.  Namun akhirnya kritik yang muncul dari teori itu adalah spiil over theory (efek wastafel) dimana orang-orang yang memiliki capital yang digambarkan sebagai keran yang terus mengucur airnya harusnya dapat memberikan trickles atau rembesan namun karena lubang wastafel terbuka maka yang ada adalah kubangan air di wastafel tersebut. Maka kesenjangan antara kelompok pemilik capital dan yang miskin pun semakin terlihat dengan fokusnya pemerintah pada hal-hal yang dapat meningkatkan GDP yang bersifat materi saja,  tanpa melihat aspek yang lain seperti tingkat pengangguran, tingkat pendidikan, atau bahkan tingkat kreativitas yang dalam skala makro dapat menciptakan comparative advantage di dunia internasional.
Hal ini juga terkait apa yang dijelaskan oleh Schumpeter dalam teori pertumbuhan dan pembangunan bahwa pertumbuhan ekonomi akan berkembang pesat apabila berada dalam lingkungan masyarakat yang menghargai dan merangsang individu untuk menggali penemuan baru. Lalu, bagaimana GDP ini dapat menjadi indikator kesejahteraan, jika ia gagal merangkul level mikro yang merupakan jalan-jalan setapak untuk menuju jalan utama perekonomian yakni kesejahteraan? GDP yang tinggi namun tidak dapat menyerap pengangguran, menurut Midgley (1995:14) hal ini tentu merupakan pertumbuhan yang bias “shadow growth”, karena menurut Midgley bahwa salah satu indikasi kesejahteraan adalah setinggi apa kesempatan-kesempatan untuk maju tersedia.

Kesejahteraan dalam Islam

Dalam pandangan Islam idealnya ekonomi makro dapat mengonter ekonomi mikro. Hal ini disebutkan oleh Prof. Didin Damanhuri, Pendiri INDEF, bahwa kemajuan di level makro adalah hal yang necessary, tapi harus sufficient dengan diiringi pertumbuhan sektor mikro. Jika kita menjadikan kesejahteraan dalam aspek makro, maka di dalamnya diatur bagaimana tujuan makro ini dapat mewakili aspek-aspek yang mikro. Imam Syatiibi, ilmuwan muslim yang konsen terhadap hal ini, membahasnya dalam maqasid syariah (tujuan-tujuan syariah). Beliau menyebutkan bahwa tujuan kehidupan ini adalah mencapai kesejahteraan, hal ini dicapai dengan lima indeks maqasid yang mengonter aspek-aspek mikro.
Suatu kegiatan ekonomi dikatakan mencapai kesejahteraan menurut Syatibi adalah saat sutau kegiatan tersebut  dalam mencapai target kegiatannya tidak meninggalkan satu indeks maqasid pun, yakni menjaga agama (hifdzu ad-din), menjaga jiwa (hifdzu an-nafs), menjaga akal (hifdzu akl), menjaga keturunan (hifdzu an-nashl), dan yang terakhir menjaga harta (hifdzu al-mal). Contoh kecilnya, saat sebuah perusahaan akan beroperasi ia melihat apakah produk yang akan diproduksi diperbolehkan oleh agama? Apakah produknya baik bagi kesehatan? Apakah produknya dapat mempercepat daya fikir atau mungkin malah menghambat proses berfikir atau bahkan kehilanngan kesadaran? Apakah produk yang akan dipasarkan baik bagi keberlangsungan ekosistem yang juga disiapkan untuk keturunan kita di masa yang akan datang? Dan apakah produk tersebut tidak menguras habis harta konsumen?. Begitu pula saat pemerintah dalam hal ini departemen keuangan dalam menyusun RAPBN 2013? Sudahkah ia mengonter hal-hal tersebut sehingga dapat menghapus distorsi yang terjadi pada GDP?
Begitulah Islam mengatur kehidupan kita bahwa dalam setiap kegiatan kepuasan pribadi bukanlah satu-satunya tujuan, kita juga harus memikirkan bagaimana sekitar kita, keberlangsungan alam, keserasian sosial dan budaya, akselerasinya bagi kualitas diri dan sekitar. Maka, Maqasid Indeks merupakan tolak ukur kesejahteraan yang komprehensif, bukan sekedar shadow belaka. (Tiffany Fauzia Rizqa)
Sumber : http://fossei.org/2013/01/maqasid-indeks-sebuah-revitalisasi-pengukuran-kesejahteraan/

Posting Komentar

0 Komentar