Advertisement

Main Ad

Pembatasan Harga dalam perspektif Islam


Menjelang bulan suci Ramadhan, atau menjelang lebaran, kita sering mendapati berbagai kebutuhan bahan makanan naik. Ada yang 10% bahkan ada yang bisa mencapai 50%. Mulai dari beras, sayur mayur, gula, pakaian, dan sebagainya, semuanya mengalami kenaikan. Akibatnya, banyak barang tidak terbeli dan banyak orang tidak mampu membeli. Kemudian, muncullah usulan untuk melakukan pembatasan harga agar harga barang-barang tidak melambung naik. Menurut sebagian orang, kebijakan ini sangat membantu masyarakat dan bersifat solutif. Benarkah demikian?
Dalam Islam, pembatasan harga seperti ini disebut dengan tas’ir. Suatu ketika Anas bin Malik ra pernah menceritakan, bahwa pada masa Rasulullah saw. pernah terjadi harga-harga yang melambung tinggi. Para sahabat merasakan keresahan dan berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga demi kami.” Maksudnya, Rasulullah diminta untuk melakukan pembatasan harga berbagai barang agar tidak melambung naik. Tetapi Rasulullah saw. justru menjawab, “Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezeki; sementara aku sungguh ingin menjumpai Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntut aku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR. at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi dan Ahmad).

Rasulullah saw. adalah seorang kepala Negara Islam di Madinah pada waktu itu. Berdasarkan hadis di atas, maka tas’ir (pembatasan harga) sangat bertentangan dengan Islam. Allah telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….” (QS. An Nisa: 29)
Rasulullah saw. juga pernah bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus dengan saling ridha (sama-sama rela/ikhlas).” (HR. Ibnu Majah)
Apa yang salah dari kebijakan ‘pembatasan harga’ ini?
Kesalahannya, terletak pada pelanggaran kepemilikan (milkiyyah). Sebab, kepemilikan seseorang atas suatu harta, itu menjadi kekuasaannya secara penuh. Artinya, sudah menjadi hak si pemilik harta untuk bisa menjual barang (harta) miliknya tersebut, dengan harga yang dia inginkan.
Misalnya, jika saya memiliki sebuah harta berupa beras. Saya jual per kilo dengan harga Rp25.000,00. Ini sah-sah saja, sekalipun harga di pasaran hanya Rp7.000,00. Jadi, seberapa pun orang mau menjual harta yang dimilikinya, itu sah-sah saja. Namun permasalahannya, ada tidak yang mau beli dengan harga yang ditetapkan itu? Oleh karena itu, selayaknya orang menjual hartanya dengan harga sewajarnya, yang mampu dijangkau oleh orang. Bukan dengan seenaknya memasang harga.
Jadi, Islam sangat menjamin kepemilikan seseorang atas harta yang dimilikinya.
Lalu bagaimana dengan kondisi sekarang? Justru di sinilah akar permasalahannya. Negara harus melakukan kontrol terhadap stabilitas permintaan dan penawaran di dalam negeri.
Misalnya, ketika harga-harga barang sedang melonjak naik. Hal seperti ini bisa jadi disebabkan karena barang tersebut tidak tersedia di pasaran, dikarenakan terjadinya penimbunan. Dalam hal ini, syariat Islam sangat mengharamkan terjadinya penimbunan. Oleh karena itu, pelakunya akan dihukum oleh negara. Negara akan menangkap dan memberikan hukuman kepada para pelaku penimbunan itu, dan akan menyita barang-barang hasil timbunannya, kemudian menyerahkannya ke pasar.
Tetapi melonjaknya harga-harga, juga bisa disebabkan oleh semakin berkurangnya penawaran. Jika kondisi seperti ini, maka negara harus mengeluarkan barang-barang cadangan negara (semacam Badan Urusan Logistik/Bulog), atau bisa juga mendatangkan berbagai barang komoditi dari daerah-daerah yang produksinya melimpah. Sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab ketika terjadi tahun paceklik. Pada waktu itu, beliau mendatangkan berbagai barang-barang kebutuhan pokok dari Mesir dan Syam, dikarenakan terjadi krisis di daerah Hijaz.
Krisis juga bisa terjadi ketika harga-harga sedang anjlok drastis. Hal itu lebih dikarenakan adanya kelebihan penawaran disebabkan karena produksi yang berlebih. Oleh karena itu, negara harus memiliki strategi integral pengaturan produksi, misalnya mendorong petani menanam barang-barang (komoditi) sesuai dengan keunggulan daerahnya, atau membimbing para petani mengatur pola tanam (produksi). Hal seperti ini harus didukung oleh pemerintah dengan berbagai layanan informasi tentang cuaca, informasi pasar, informasi lahan, dan sebagainya.
Negara juga bisa membeli berbagai kebutuhan dari produsen (petani) dengan harga yag layak (wajar). Kemudian komoditi tersebut disimpan di gudang cadangan negara dan bisa dikeluarkan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Berdasarkan hal tersebut, maka sebenarnya negara tidak perlu dan tidak boleh melakukan pembatasan harga. Sebab, pembatasan harga adalah bentuk kezaliman atas diri seseorang. Oleh karena itu, Rasulullah (selaku kepala negara) tidak mau membatasi harga. Ditakutkan, akan ada harga-harga tertentu yang seharusnya dimiliki oleh si fulan, gara-gara ada pembatasan harga, maka si fulan tidak mendapatkannya. Inilah yang disebut zalim. Dan Rasulullah tidak ingin ketika di hari kiamat, beliau masih menyisakan permasalahan dengan orang yang mungkin pernah dizaliminya.
Dan kenyataannya, justru praktik pembatasan harga ini akan mendorong munculnya ‘pasar gelap’. Sebab, dengan adanya pembatasan harga, akan ada rakyat yang merasa dizalimi neara sehingga harus melakukan perdagangan secara sembunyi-sembunyi. Jika praktik pasar gelap sudah terjadi, maka suplay barang ke masyarakat umum akan terkurangi. Jika sudah demikian, maka harga barang justru akan semakin naik.
Sehingga, hukum pembatasan harga (tas’ir) itu haram secara mutlak, untuk semua kondisi dan untuk semua komoditi.
Wallahu a’lam.

Posting Komentar

0 Komentar