Advertisement

Main Ad

Filantropi Dalam Sejarah Islam Di Indonesia

Kedermawanan atau filantropi bukan hal yang baru dalam sejarah Islam. Masalah filantropi menjadi salah satu bagian penting dari ajaran atau doktrin Islam, yang diterima Nabi Muhammad saw. sejak lima belas abad lalu. Banyak ayat Al-Quran maupun Al-Hadits yang menegaskan pentingnya berderma kepada sesama manusia. 

Lihat, misalnya, ayat Al- Quran (QS, Al-Tawbah, 9: 103) yang artinya; “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dalam beberapa ayat Al-Quran dan Al-Hadis dapat kita temukan ajaran-ajaran Islam yang menganjurkan kedermawanan dalam pelbagai bentuknya. Filantropi Islam sendiri memang memiliki cakupan yang sangat luas, mulai dari masalah wakaf, infak, sedekah, hingga zakat. Bahkan, kedermawanan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat material, tetapi juga pada hal-hal yang bersifat spiritual. Dalam hal ini, senyum dapat disebut sebagai salah satu bentuk kedermawanan. 

Kedermawanan atau filantropi merupakan salah satu bentuk ajaran Islam tentang kepedulian dan keadilan sosial kepada sesama manusia. Di dalam doktrin Islam, orangorang yang tidak memiliki kepedulian terhadap anak yatim, orang fakir-miskin, dan kaum duafa lainnya, misalnya, dikategorikan dan dimasukkan sebagai pendusta agama. 


Hal ini dipertegaskan dalam ayat Al-Quran (QS Al-Mâ’ûn, 107: 1-7) yang artinya; “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, (yaitu) orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang berguna.” Jadi, pendusta agama adalah orang yang rajin mendirikan salat dan taat menjalankan ibadah-ibadah wajib, namun tidak memiliki perilaku sosial yang baik terhadap sesama manusia. 

Secara doktrinal, masalah filantropi memang telah ada sejak Islam diterima Rasulullah saw. Namun, dari sudut akademis dan kelembagaan, masalah filantropi Islam merupakan salah satu bidang yang tampaknya masih terbengkalai dan belum menjadi kajian serius, khususnya di Indonesia. Secara historis disebutkan, bahwa ada suatu kecenderungan di kalangan para penguasa muslim, sejak Daulah Abbasiyah hingga Turki Utsmani, yang selalu menunjukkan filantropi mereka dalam pelbagai bentuk kelembagaan, khususnya pendidikan dan madrasah. Dalam hal ini, menarik untuk dikaji pendirian lembagalembaga tersebut, yaitu berkenaan dengan lembaga-lembaga yang disokong dan dibiayai sepenuhnya oleh penguasa atau pemerintah. Sebagai contoh kasus adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan pada abad ke-10 dan ke-11 M. di Baghdad. Pendirian madrasah tersebut merupakan religious endowment dari penguasa pada masa itu. Juga, Dinasti Turki Utsmani pada masa modern (abad ke-18 dan ke-19 M.) yang memberikan religious endowment yang cukup besar dalam bentuk scholarly endowment. 

Kita tahu bahwa Pemerintah Turki Utsmani menyisihkan jumlah tertentu dari anggaran belanjanya untuk kepentingan beasiswa bagi para penuntut ilmu di kota-kota pusat keilmuan seperti Kairo, Makkah, dan Madinah. Sementara itu, Universitas Al-Azhar di Mesir menjadi satu contoh filantropi Islam yang amat luar biasa dengan harta wakafnya dan juga hasil-hasil usaha lainnya. Belum termasuk pula yang berbentuk charities dalam bentuk ZIS. Karenanya, Universitas Al-Azhar menjadi sangat independen, bahkan anggaran belanja lembaga pendidikan Islam ini lebih besar dari anggaran belanja negara Mesir sendiri. Tetapi, dalam perkembangan berikutnya, pada 1961, pemerintah Mesir di bawah Presiden Nasser melakukan nasionalisasi secara paksa atas seluruh harta wakaf Al-Azhar. Al-Azhar pun kemudian dijadikan bagian dari struktur negara; anggarannya ditetapkan dan diberikan oleh negera; Syaikh Al-Azhar dijadikan pejabat setingkat Perdana Menteri dan digaji Pemerintah. Akibatnya, Al-Azhar tidak lagi menjadi lembaga independen atau menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan. 

Naskah-Naskah tentang Islamisasi Nusantara Nilai-nilai filantropi Islam tentu membawa perubahan pada masyarakat Nusantara, dan zakat berperan besar di sini, karena walau bagaimanapun juga, tampaknya masyarakat Nusantara mengharapkan bahwa Islam akan dapat mengubah masyarakat sedikit demi sedikit dibandingkan ketika mereka masih menyembah berhala.3 Memang tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Islam banyak membawa perubahan pada masyarakat di Nusantara. Sebagai contoh, kontrol sosial sebagai manifestasi nilai-nilai keislaman di Nusantara tertuang dalam teks Tajul Salatin. Dalam salah satu babnya, teks tersebut tertulis penuh celaan terhadap orang-orang bakhil dan pujian bagi orang yang mau bermurah hati. “Hendaklah yang raja itu melebih hormat akan segala fakir dan miskin dan dimuliakan mereka itu terlebih daripada segala orang kaya dan harus senantiasa duduk dengan mereka itu…”.4 Semangat egalitarianisme di atas belum sepenuhnya bisa dilakukan, terlebih lagi di kalangan elite kerajaan. Dalam Adat Raja-Raja Melayu, sedekah dan zakat yang dikeluarkan oleh raja kepada fakir dan miskin diberikan pada saat diadakan upacara kerajaan seperti Upacara Kelahiran, Upacara Memotong Rambut, dan Upacara Membayar Nazar. Sedekah yang dikeluarkan raja pun tidak tanggung-tanggung, yaitu berupa emas, perak, dan pakaian kepada fakir miskin di seluruh negeri.5 Sedekah dan zakat yang diberikan raja dipakai sebagai alat melanggengkan kekuasaannya. Dalam kasus Nusantara, zakat merupakan suatu anasir penting dari tata hukum yang ada, baik hukum positif ataupun moralitas umum yang disosialisasikan melalui teks-teks bernafaskan Islam. 

Semangat dalam naskah yang terdapat pada kerajaan-kerajaan di wilayah barat Nusantara tidak banyak berbeda dengan teks-teks yang ditemukan sekitar abad ke-16 di wilayah Jawa walau naskah ini adalah naskah-naskah fikih dan akhlak. Misalnya dalam Wejangan Sheh Bari, di dalamnya terdapat satu bagian tentang kebajikankebajikan pemberian sedekah secara diam-diam, yang tidak diketahui siapa pun kecuali kepada Tuhan.6 Sedangkan kitab tentang Akhlak Islam yang disunting Drewes juga mengatakan tentang perlunya zakat: “Zakat itu adalah kewajiban nyata yang harus ditunaikan sesuai dengan banyaknya harta milik masing-masing (sakadare artane); barangsiapa mempunyai kekayaan entah disimpan entah diputarkan tidak boleh tidak membayar zakat dengan sejujurnya tanpa kecurangan.”7 Sistem zakat ini merupakan suatu perkembangan yang sangat luas implikasinya pada masyarakat Nusantara. Lombard mengatakan bahwa cita-cita “masyarakat baru” ini, yang bersandarkan dirinya pada hukum Islam, adalah suatu pergerakan menuju masyarakat yang bersifat egaliter. 

Di dalam Undang-undang Melaka tidak dicantumkan pentingnya zakat, atau, secara spesifik tidak mewajibkan para pedagang dan elite-elite masyarakat Nusantara yang bermukim di Melaka untuk membayar zakat. Sehingga zakat mendapatkan status hukumnya dalam sebuah konstitusi. Secara umum, Undang-undang Melaka berisi tentang hukum-hukum mengenai pembunuhan, pelanggaran hak milik, pelecehan seksual, perlawanan terhadap pemerintah, aturan-aturan mengenai perdagangan dan sistem agraria, dan hukum mengenai perbudakan. Dari sini dapat diasumsikan bahwa lembaga filantropi Islam belum terejawantahkan pada tatanan masyarakat Nusantara dalam bentuk pengelolaannya yang mapan. Paling tidak, dengan munculnya teks-teks yang menganjurkan seseorang untuk bersedekah dan berzakat dan tidak adanya ketentuan hukum mengenai hal tersebut dalam Undang-undang Melaka, dapat dikatakan bahwa pada abad-abad pertama masuknya Islam di Indonesia, aspek filantropi Islam masih sebatas tindakan imperatif-etis. Hal ini tampaknya terkait dengan tahap-tahap Islamisasi yang terjadi secara gradual di Nusantara, dari “Islam campuran” atau heterodoksi ke “Islam Skriptural” atau ortodoksi. Hal lain yang cukup penting adalah semangat pemerintahan Muslim mewajibkan zakat dan menghukum orang yang tidak melakukan kewajiban tersebut kemungkinan besar tidak sampai ke Nusantara (Amelia dan Ary). Bahkan, menurut Gregory C. Kozlowski, sedikit sekali pemerintah Muslim yang melakukan hal itu, kecuali pada masa awal perkembangan Islam.8 Masjid dan Administrasi Kerajaan Masjid merupakan pusat kegiatan sosial-keagamaan umat Islam. 

Di Aceh seorang imam ditunjuk untuk memimpin penyelenggaraan ritual-ritual keagamaan di masjid, kemudian kita juga mengenal sebutan kadi atau penghulu. Jabatan ini selalu dihubungkan dengan tugas-tugas keagamaan, terutama dalam bidang peradilan dan hukum Islam. Seperti juga jabatan keagamaan yang ada di Jawa, di Palembang juga dikenal istilah penghulu, yaitu jabatan keagamaan di bawah administrasi kesultanan untuk mengatur persoalan-persoalan keagamaan. Oleh karena itu, penghulu berperan besar dalam mengelola keuangan masjid (yang bersumber melalui zakat, sedekah, hibah maupun wakaf) karena tugasnya adalah memimpin sebuah masjid.9 Praktik Filantropi dan Otoritas Keagamaan pada Masa Kolonial Wacana keislaman pada periode kolonial tidak bisa mengesampingkan nama Dr. C. Snouck Hurgronje (1857-1936) yang merupakan Penasihat Urusan Pribumi dan Islam, bekerja pada Het Kantoor voor Inlandsche zaken mulai pada 1899 sampai 1906. 

Data mengenai praktik filantropi sebagian besar didapat dari tulisan dan surat-surat Snouck yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal atau pejabat-pejabat daerah (Bupati, Residen, Asisten Residen) di wilayah Hindia Belanda. Pengetahuan Snouck yang mendalam tentang hukum Islam dan pranata sosial keagamaan di wilayah-wilayah Hindia Belanda membuat nasihatnasihatnya begitu berarti dan penting. Namun statusnya sebagai pejabat kolonial yang terkadang bertabrakan dengan semangat liberal yang dibawanya telah memberi wacana bagi praktik filantropi Islam di Nusantara. Dengan nasihat-nasihatnya, Snouck adalah tokoh yang paling berpengaruh dalam pemutusan kebijakan-kebijakan kolonial terhadap bentuk pengelolaan kas masjid yang didapatkan melalui zakat dan biaya pernikahan, serta wakaf. Pemerintah Kolonial dan Pengelolaan Zakat Dari hasil penelitian Snouck dan data yang didapatkannya dari wilayah-wilayah di Nusantara, terlihat bahwa zakat mal, zakat fitrah, sedekah, serta sumbangan-sumbangan lain keagamaan sudah melembaga dalam masyarakat. Penekanan terhadap wajibnya zakat dan benda yang dikeluarkan zakatnya berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya, misalnya, zakat ternak boleh dikatakan tidak pernah ditarik di Jawa dan Madura. 

Zakat logam mulia dan barang dagangan pun langka sekali. Di Priangan penarikan zakat hasil pertanian padi begitu ditekankan, tapi tidak di wilayah Jawa.10 Zakat mal tidak banyak ditemukan di Jawa, tapi tradisi pembagian zakat mal secara besar-besaran dilakukan di Madura.11 Di Jawa, sifat zakat adalah sukarela dan tidak pernah seperti pajak. Hal ini berbeda dengan di Priangan. Ada beberapa faktor penting yang membuat sifat zakat begitu berbeda di dua tempat itu sehingga membuat penghasilan zakat yang sangat berbeda banyaknya. Di Jawa, tekanan pajak yang begitu tinggi menjadi tidak mungkin untuk menarik zakat hasil pertanian dari penduduk. Hal lain, menurut Snouck, terdapatnya pengetahuan yang cukup mengenai syariat Islam, adanya ketekunan para pemimpin, kepemilikan tanah secara komunal, dan rasa keagamaan yang tinggi di daerah Priangan. Bagi sebagian penduduk, zakat fitrah itu dianggap sebagai tebusan dosa selama satu tahun. Tradisi menyerahkan fitrah dalam bentuk uang, selain beras, juga sudah. Dan penduduk tidak merasa memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat itu termasuk kepada siapa zakat itu diserahkan. Kebanyakan penduduk mengharapkan berkah dari zakat yang mereka keluarkan. Dan, hanya petani kaya yang saleh saja yang mau mengeluarkan zakat pertanian dan barang dagangan.12 Kepada siapa zakat diberikan? Menurut Snouck, di Jawa sama sekali tidak ada aturan. 

Sebagian penduduk memberikan zakat fitrah anaknya yang masih kecil kepada bidan yang menolong kelahiran anak tersebut; jika anak itu sudah mengaji, maka fitrah diberikan kepada guru ngaji anak-anak tersebut, dan untuk penduduk dewasa, fitrah dapat diberikan kepada lebai (yang suka membacakan doa), modin, amil, kiai, atau penghulu. Menurut Snouck, ada penduduk yang berpandangan bahwa zakat fitrah disalurkan kepada kiai dengan harapan mereka mendapat berkah dari kiai itu dan dari mustahik yang menerima zakat yang tersebut. Namun sama sekali tidak ada pengawasan tentang bagaimana kiai atau penghulu mengelola uang zakat atau fitrah. Namun di Priangan pengelolaannya sangat baik. Zakat mal dan zakat fitrah dikumpulkan oleh para kiai. Setelah dipotong sekedarnya untuk bagian para kiai baru uang itu dipertanggungjawabkan dan diserahkan kepada penghulu kecamatan dan kewedanan. Setelah dipotong sekadarnya oleh penghulu kewedanan, uang itu diteruskan kepada penghulu afdeeling, dan disebut sebagai “penghasilan agama”. Dengan cara seperti ini, maka jumlah uang zakat mal dan zakat fitrah itu begitu besar. Dan karena itu sangat rawan akan praktik korupsi.13 Tentang mustahik, atau kelompok yang berhak mendapat zakat, walaupun berjumlah delapan, namun pada akhirnya, menurut Snouck, uang zakat diberikan kepada wong putihan (di Jawa) atau santri, atau lebai yang masuk kategori fakir dan miskin dalam arti yang lebih luas. 

Karenanya, penghulu, naib, dan seluruh petugas masjid, guru agama, murid pesantren, penjaga makam keramat, orang saleh fakir yang menganggur, dan para amil. Istilah amil atau orang yang memungut/mengelola zakat diangkat oleh pejabat Islam, dan jabatan ini dulu banyak terdapat di daerah Jawa Barat. Dan sejak 1892, jabatan tersebut sudah tidak difungsikan lagi; namun sekarang ini istilah amil kembali digunakan pada masa Orde Baru. Pemerintah kolonial tidak mau turut campur dalam hal pengelolaan uang zakat mal dan zakat fitrah ini. Kebijakan ini sudah diterapkan jauh sebelum Snouck menjadi Penasihat Urusan Pribumi dan Islam. Pemerintah sudah mengedarkan larangan tegas tertanggal 18 Agustus 1866 nomor 216 untuk menghapus semua campur tangan pemerintah daerah atas pungutan sukarela keagamaan. Kebijakan ini diterapkan karena kekhawatiran pemerintah nantinya disalahkan jika mengubah struktur pranata keagamaan masyarakat. Kekhawatiran ini sangat beralasan karena sebagian besar pejabat pemerintah tidak tahu tentang Islam dan masyarakat Muslim Nusantara. Dari sini cukup jelas bahwa walaupun tidak terdokumentasi dengan baik, sistem dan kelembagaan zakat fitrah dan zakat mal tidak mengalami perubahan pada masa kolonial. Pemerintah kolonial pun hanya mengawasi pelaksanaan dan pengelolaan zakat di wilayah Jawa dan Madura, tidak termasuk wilayah vorstenlanden (kerajaan). 

Kalaupun ada perubahan, bisa masuk lewat reformasi pranata Islam itu sendiri yang dibawa oleh para pembaharu atau ulama-ulama dari luar wilayah Nusantara, khususnya dari Timur Tengah bisa melalui media haji, komunitas Jawah, atau mahasiswa yang menuntut ilmu. Walaupun demikian, kecil kemungkinan ada perubahan yang berarti karena wacana fikih tidak banyak didiskusikan lagi. Kemungkinan perubahan ada dalam interpretasi mustahik dan pengelolaan harta zakat yang lebih modern. Walaupun pada satu sisi Snouck bersikeras untuk tidak mencampuri urusan sumbangan sukarela keagamaan ini, di sisi lain ia tidak bisa tinggal diam melihat praktikpraktik kecurangan atau korupsi yang terjadi dalam pengelolaan keuangan ini. Dan, melakukan campur tangan terutama dalam pengawasan dan pengelolaan kas masjid. Campur-tangan Pemerintah dalam Pengumpulan Zakat Karel Steenbrink melihat bahwa dalam praktiknya, penghulu adalah pejabat yang paling berhak untuk mengumpulkan zakat, tetapi bukan untuk mustahik, melainkan untuk gajinya.14 Di beberapa daerah, penghulu dianggap sebagai orang biasa yang hidup dalam lingkungan kolonial dan memperoleh gaji langsung dari Batavia. Perbedaan antara kiai/guru dengan penghulu sangat tegas pemisahannya.15 Kiai/guru biasanya mengajar di surau, langgar, madrasah, atau pesantren. Mereka hidup dari uang sumbangan dan fitrah yang diberikan murid-murid dan penduduk. 

Sedangkan penghulu diangkat dan digaji dari pemerintah kolonial. Karenanya ketegangan antara penghulu dan kiai lokal atau guru yang sudah ada sejak zaman kerajaan Islam kembali berlanjut. Kalau ketika itu penghulu diangkat oleh sultan atau raja, maka pada masa kolonial penghulu diangkat oleh pemerintah kolonial. Salah satu “tugas” penghulu adalah mengawasi adanya usaha-usaha pemberontakan dan meredam ketenaran kiai lokal seperti dalam kasus perselisihan antara Kiai Mutamakin dengan penghulu Batang. Dalam praktiknya di Jawa, zakat hanya dianggap sebagai gaji pegawai masjid. Ini merupakan suatu pandangan umum masyarakat sebagaimana diilustrasikan oleh kutipan Steenbrink dari Algemeen Verslag Regenstchaap Sumenep over 1811, bahwa penghulu kerjaannya hanya mengurus persoalan perkawinan dan kematian, tetapi setiap bulan puasa ia mendapat zakat fitrah, 4 katie beras setiap satu orang, atau duit dan setiap bulan haji dia menerima daging kurban, bahkan kambing yang masih hidup.16 Oleh karena itu, ketika pada 1866 dikeluarkan peraturan bahwa pegawai negeri tidak boleh membantu pengumpulan zakat, maka kebanyakan penduduk tidak lagi memberikan zakat kepada penghulu, tetapi kepada kiai yang lebih dihormati dan dipercayai. Snouck dengan berat hati juga menegaskan bahwa penghulu tidak mengurus soal zakat fitrah dan zakat mal. Lebih buruk lagi, Snouck juga melarang usaha lain penghulu mendapatkan pemasukan dari orang yang akan berangkat haji. 

Terdapat praktik ilegal bahwa penghulu, guru agama atau pemandu haji menarik zakat sebesar dua setengah persen dari uang haji, dengan mengatakan bahwa haji yang tidak membayarkan zakatnya tidak sah dan hajinya tidak halal.17 Pengembalian fungsi ini memang pada satu sisi menguntungkan kiai dan guru termasuk guru tarekat dan merugikan bahkan mengurangi pemasukan penghulu. Namun menurut Snouck hal ini penting untuk dilakukan mengingat harus dikembalikannya kewibawaan lembaga penghulu dalam masyarakat. Karena itu, penghulu mendapat gaji dari uang KTC (Kawin, Talak, Cerai) yang masuk ke kas masjid dan itu pun cukup besar. Pada awal abad ke-20 M, filantropi Islam semakin berkembang di Indonesia, yang ditandai oleh hadirnya sekolah-sekolah Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan sejenisnya, termasuk organisasi-organisasi sosial-keagamaan besar semacam Jami’at Khair dan Sarekat Islam. Kehadiran institusi-institusi pendidikan Islam dan organisasi sosialkeagamaan di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia ini sangat terkait dengan philanthrophisme itu, dan membuktikan bahwa mereka mampu menghidupi dirinya sendiri secara mandiri. 

Menguatnya filantropi terus bertahan hingga Indonesia merdeka pada 1945. Dalam masa-masa berikutnya, khususnya sejak awal 1990-an —menjelang lengsernya Suharto dari kursi kepresidenan, perkembangan filantropi Islam di Indonesia tidak dapat dicegah dan dimundurkan kembali. Filantropi Islam di Indonesia sudah berkembang lebih jauh. Adalah jelas bahwa philanthropisme tidak lagi terbatas pada pembangunan madrasah, pesantren, atau masjid, misalnya, tetapi lebih menyentuh pada pemberdayaan ekonomi, pemberian beasiswa, dan lain sebagainya. Fenomena ini tentu saja cukup menggembirakan bagi masyarakat Islam Indonesia. Dalam beberapa tahun sejak 1990-an, potensi kedermawanan atau filantropi dalam masyarakat kita terus meningkat. Kondisi ekonomi yang sulit karena terjadi multikrisis di dalam masyarakat Indonesia sejak akhir 1997, ternyata tidak membuat filantropi merosot atau menurun di Indonesia, tetapi sebaliknya justru cenderung terus meningkat. Miliaran dana kemanusiaan dan kepedulian berhasil dikumpulkan media elektronik dan cetak, atau oleh lembaga-lembaga yang memang bergerak dalam dunia filantropi. Bila dana kemanusiaan dan kepedulian yang melimpah itu dikelola dengan managemen amanah dan jujur, insya Allah public trust akan semakin tumbuh dan berkembang. Di kalangan umat Islam khususnya, peningkatan filantropi dapat dilihat dari pertumbuhan dana yang secara fenomenal berhasil dikumpulkan lembaga-lembaga filantropi seperti Dompet Dhuafa, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Yayasan Daarut Tauhid, dan banyak lagi, yang ditangani dengan managemen swasta dan profesional. 

Lembaga-lembaga seperti ini hadir tidak sekadar melengkapi BAZIS dan LAZIS yang telah ada sebelumnya —yang dikelola di bawah naungan pemerintahan, tetapi bahkan juga menawarkan berbagai terobosan baru dalam manajemen pengumpulan dan distribusi dana yang berhasil mereka kumpulkan dari masyarakat. Di tengah peningkatan filantropi di kalangan masyarakat kita, persoalannya adalah seberapa jauh dana yang dikumpulkan bermanfaat untuk meningkatkan keadilan sosial? Apakah dana filantropi yang demikian besar masih didistribusikan secara konvensional, misalnya terutama untuk pembangunan rumah ibadah, ataukah juga semakin banyak untuk membantu terciptanya kepedulian dan keadilan sosial? Masalah-masalah seperti inilah yang, antara lain, menjadi tema pokok penelitian berskala internasional yang dilakukan dan dikordinasi Pusat Bahasa dan Budaya (PBB), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 2003. Penelitian yang bertajuk “Philanthropy for Social Justice among Muslim Societies” itu bersifat komparatif dengan melihat pengalaman umat Islam di negara-negara mayoritas Muslim, Indonesia, Mesir, Turki, dan di Tanzania, India, dan Inggris, di mana umat Islam merupakan komunitas minoritas. Setelah Lokakarya I dilakukan di Bali pada Juni 2003, Lokakarya II diselenggarakan di Kairo, Mesir 9-10 Juni 2004, yang mengungkapkan banyak temuan menarik dari lapangan. 

Pertama, motivasi keagamaan merupakan motif dominan bagi sebagian besar penderma untuk mendermakan sebagian harta mereka; kedua, meningkatnya kecenderungan filantropi untuk memberdayakan lembaga, organisasi, dan kelompok keagamaan; dan ketiga meningkatnya bentuk-bentuk baru dalam managemen pengelolaan dan distribusi dana filantropi yang berhasil dikumpulkan. Lebih jauh, meski terdapat tanda-tanda peningkatan kepedulian sosial dalam filantropisme, namun kedermawanan publik belum menjadikan advokasi pemberdayaan civil society, HAM, atau kesetaraan gender dan semacamnya sebagai salah satu prioritas pokok. Karena itu masih diperlukan waktu dan usaha sungguh-sungguh untuk meyakinkan kaum filantropis muslim khususnya, bahwa semua hal ini juga merupakan bagian penting pemberdayaan masyarakat dan penciptaan keadilan sosial dalam masyarakat muslim secara keseluruhan. Dalam kerangka itu, penciptaan dan penguatan kerjasama dan jaringan antara LSM-LSM dengan lembaga-lembaga filantropi sangat dibutuhkan.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Kabar baik
    Allah yang Maha Kuasa telah begitu setia kepada saya dan seluruh keluarga saya untuk menggunakan perusahaan pinjaman ibu Emily untuk mengubah situasi keuangan hidup saya untuk kehidupan yang lebih baik dan lebih stabil sehingga sekarang saya memiliki bisnis sendiri di kota
    Nama saya Nur Khomariyah dari kota Sidoarjo, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ibu. Emily karena membantu saya dengan pinjaman yang baik setelah saya menderita di tangan pemberi pinjaman palsu yang menipu saya karena uang saya tanpa menawarkan saya pinjaman, saya memerlukan pinjaman selama 2 tahun terakhir untuk memulai bisnis saya sendiri di kota Sidoarjo tempat saya tinggal dan saya jatuh ke tangan perusahaan palsu di India yang telah menipu saya dan tidak menawarkan pinjaman kepada saya dan saya sangat frustrasi karena saya kehilangan semua uang saya ke perusahaan palsu di India, karena saya berutang kepada bank dan teman-teman saya dan saya tidak punya orang untuk dituju, sampai suatu hari teman setia saya menelepon Slamet Raharjo setelah membaca kesaksiannya tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari ibu perusahaan pinjaman Emily, jadi saya harus menghubungi Slamet Raharjo dan dia mengatakan kepada saya dan meyakinkan saya untuk menghubungi ibu emily bahwa dia adalah ibu yang baik dan saya harus memanggil keberanian dan saya menghubungi ibu emily perusahaan dan secara mengejutkan, pinjaman saya diproses dan disetujui dan dalam waktu 2 jam pinjaman saya dipindahkan ke akun saya dan saya sangat terkejut bahwa ini adalah keajaiban dan saya harus bersaksi tentang ibu pekerjaan yang baik Emily
    jadi saya akan menyarankan semua orang yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi ibu perusahaan pinjaman Emily melalui email: emilygregloancompany@gmail.com. atau whatsapp +1 (669) 4002627 dan saya meyakinkan Anda bahwa Anda akan bersaksi seperti yang telah saya lakukan dan Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut tentang Mother Emily melalui saya email: nurkhomariyah1989@gmail.com
    dan Anda masih dapat menghubungi teman saya Nur Syarah yang memperkenalkan saya kepada Ms. Margaret melalui email: slametraharjo211989@gmail.com
    semoga Tuhan terus memberkati dan mendukung ibu Emily yang telah mengubah kehidupan finansial saya.

    BalasHapus