Koperasi adalah lembaga usaha yang dinilai cocok untuk
memberdayakan rakyat kecil. Nilai-nilai koperasi juga mulia seperti keadilan,
kebersamaan, kekeluargaan, dan kesejehateraan bersama. Bagaimana syariah
melihat lembaga ini?
Dalam Islam, koperasi tergolong
sebagai syirkah/syarikah. Lembaga ini adalah wadah kemitraan, kerjasama,
kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal. Dan, lembaga
yang seperti itu sangat dipuji Islam seperti dalam firman Allah, “Dan
bekerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling bekerjasama
dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2). Lihat juga surat An-Nisa’: 12 dan Shaad: 24.
Bahkan, Nabi saw. tidak sekadar membolehkan, juga memberi motivasi dengan sabdanya
dalam hadits Qudsi, “Aku (Allah) merupakan pihak ketiga yang menyertai (untuk
menolong dan memberkati) kemitraan antara dua pihak, selama salah satu pihak
tidak mengkhianati pihak lainnya. Jika salah satu pihak telah melakukan
pengkhianatan terhadap mitranya, maka Aku keluar dari kemitraan tersebut.” (Abu
Daud dan Hakim). Beliau juga bersabda, “Allah akan mengabulkan doa bagi dua
orang yang bermitra selama di antara mereka tidak saling mengkhianati.”
(Al-Bukhari)
Maka tak heran jika jejak koperasi
berdasarkan prinsip syariah telah ada sejak abad III Hijriyah di Timur tengah
dan Asia Tengah. Bahkan, secara teoritis telah dikemukakan oleh filosuf Islam
Al-Farabi. As-Syarakhsi dalam Al-Mabsuth, sebagaimana dinukil oleh M.
Nejatullah Siddiqi dalam Patnership and Profit Sharing in Islamic Law, ia
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ikut dalam suatu kemitraan usaha
semacam koperasi, di antaranya dengan Sai bin Syarik di Madinah.
Kini, koperasi sebagai organisasi
ekonomi berbasis orang atau keanggotaan (membership based association), menjadi
substantive power perekonomian negara-negara maju. Misalnya Denmark, AS,
Singapura, Korea, Jepang, Taiwan, dan Swedia. Meskipun, awalnya hanya
countervailing power (kekuatan pengimbang) kapitalisme swasta di bidang ekonomi
yang didominasi oleh perusahaan berdasarkan modal persahaman (equity based
association), yang sering jadi sapi perah pemilik modal (share holders) dengan
sistem dan mekanisme targeting yang memeras pengelola.
Spirit membership based association
teraktualisasikan dalam ‘tujuh kebaikan’. Buku-buku modern menyebutnya sebagai
social capital (modal sosial). Di Indonesia semangat ekonomi kerakyatan
berbasis modal sosial mulai menggejala di era Hindia Belanda di abad ke-19,
tepatnya sejak diberlakukan UU Agraria 1870 yang menghapuskan sistem Tanam
Paksa (Cultuur Stelsel). UU itu mendorong munculnya kepemilikan lokal (local
ownership) dan inisiatif rakyat setempat yang mendapatkan porsi ekonomi yang
signifikan.
Bung Hatta dalam buku Membangun
Koperasi dan Koperasi Membangun mengkategorikan social capital ke dalam 7 nilai
sebagai spirit koperasi. Pertama, kebenaran untuk menggerakkan kepercayaan
(trust). Kedua, keadilan dalam usaha bersama. Ketiga, kebaikan dan kejujuran
mencapai perbaikan. Keempat, tanggung jawab dalam individualitas dan
solidaritas. Kelima, paham yang sehat, cerdas, dan tegas. Keenam, kemauan
menolong diri sendiri serta menggerakkan keswasembadaan dan otoaktiva. Ketujuh,
kesetiaan dalam kekeluargaan.
Formula nilai yang dikemukkan Hatta
ini parallel dengan apa yang diungkapkan oleh Kagawa, bapak koperasi Jepang
dalam buku Brotherhood Economics, bahwa koperasi merupakan kemitraan ekonomi
yang memacu kesejahteraan sosial bersama dan penghindaran dari isapan
kekuatan-kekeuatan yang meraih kedudukan istimewa dalam ekonomi.
Implementasi ketujuh nilai yang
menjiwai kepribadian koperasi versi Hatta, dituangkan dalam tujuh prinsip
operasional koperasi secara internal dan eksternal. Ketujuh prinsip operasional
itu adalah; Pertama, keanggotaan sukarela dan terbuka. Kedua, pengendalian oleh
anggota secara demokratis. Ketiga, partisipasi ekonomis anggota. Keempat,
otonomi dan kebebasan. Kelima, pendidikan, pelatihan dan informasi. Keenam,
kerjasama antar koperasi. Ketujuh, kepedulian terhadap komunitas.
Di Indonesia, koperasi berbasis
nilai Islam lahirlah pertama kali dalam bentuk paguyuban usaha bernama Syarikat
Dagang Islam (SDI). DSI didirikan H. Samanhudi di Solo, Jawa Tengah. Anggotanya
para pedagang muslim. Mayoritas pedagang batik. Meskipun pada perkembangannya,
SDI berubah menjadi Syarikat Islam yang bernuansa gerakan politik.
Dalam konteks budaya kemitraan, penelitian Afzalul Rahman yang dirilis dalam
Economic Doctrines of Islam, koperasi tipe kemitraan modern Barat mirip dengan
kemitraan Islam. Bahkan, telah dipraktikan oleh umat Islam hingga abad 18. Baik
bentuk syirkah Islam dan syirkah Modern, sama dibentuk oleh para pihak atas
kesepakatan mereka sendiri untuk mencari keuntungan secara proporsional dan
mutual berdasarkan hukum negara.
Menurut Rahman, persyaratan kemitraan kedua tipe koperasi tersebut sama,
kecuali pada praktik riba (sistem bunga). Koperasi syar’iah (syirkah Islam)
terbebas sama sekali dari unsur itu. Kemitraan Inggris (dalam hal jenis mitra,
hak dan kewajibannya, fungsi dan tugasnya terhadap pihak ketiga) yang yang
tertuang dalam Peraturan Kemitraan Inggris tahun 1980, kurang lebihnya sama
dengan yang dijabarkan prinsip syirkah dalam kitab fikih bermadzhab Hanafi
‘Al-Hidayah’.
Yang jadi soal sekarang adalah
koperasi model mana yang sesuai bagi perekonomian Indonesia? Apakah koperasi
yang di daasarkan pada nilai-nilai tradisional yang cenderung berpola koperasi
sosial ataukah koperasi modern model Barat yang berbasis sistem pasar? Atau
justru gabungan keduanya?
Tampaknya model campuran, meski
tidak berlabel syari’ah, jika dalam operasionalnya berlandaskan nilai dan
prinsip syari’ah, tentu lebih mendekati fitrah sunnatullah. Artinya, sesuai
dengan kebutuhan, potensi, kondisi, dan norma agama serta terhindar dari
ekstrimitas ekonomi dan kesalahan materialisme sosialis maupun kapitalis.
Ada 7 pantangan yang harus dihindari
dalam bisnis. Dan ini harus dipegang sebagai pantangan moral bisnis (moral
hazard). Pertama, maysir yaitu segala bentuk spekulasi judi (gambling) yang
mematikan sektor riil dan tidak produktif. Kedua, asusila yaitu praktik usaha
yang melanggar kesusilaan dan norma social. Ketiga, goror yaitu segala
transaksi yang tidak transparan dan tidak jelas sehingga berpotensi merugikan
salah satu pihak.
Keempat, haram yaitu objek transaksi dan proyek usaha yang diharamkan syariah.
Kelima, riba yaitu segala bentuk distorsi mata uang menjadi komoditas dengan
mengenakan tambahan (bunga) pada transaksi kredit atau pinjaman dan
pertukaran/barter lebih antar barang ribawi sejenis. Pelarangan riba ini
mendorong usaha yang berbasis kemitraan dan kenormalan bisnis, disamping
menghindari praktik pemerasan, eksploitasi dan pendzaliman oleh pihak yang
memiliki posisi tawar tinggi terhadap pihak yang berposisi tawar rendah.
Keenam, ihtikar yaitu penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan
permainan harga. Ketujuh, berbahaya yaitu segala bentuk transaksi dan usaha
yang membahayakan individu maupun masyarakat serta bertentangan dengan maslahat
dalam maqashid syari’ah.
Pemerintah dan swasta, meliputi
individu maupun masyarakat, wajib mentransformasikan nilai-nilai syari’ah dalam
nilai-nilai koperasi. Caranya? Mengadopsi 7 nilai syariah dalam bisnis.
Pertama, shiddiq yang mencerminkan kejujuran, akurasi dan akuntabilitas. Kedua,
istiqamah yang mencerminkan konsistensi, komitmen dan loyalitas.
Ketiga, tabligh yang mencerminkan transparansi, kontrol, edukatif, dan
komunikatif. Keempat, amanah yang mencerminkan kepercayaan, integritas,
reputasi, dan kredibelitas. Kelima, fathanah yang mencerminkan etos profesional,
kompeten, kreatif, inovatif.
Keenam, ri’ayah yang mencerminkan semangat solidaritas, empati, kepedulian,
awareness. Ketujuh, mas’uliyah yang mencerminkan responsibilitas.
Koperasi syari’ah sangat strategis dalam mengembangkan sumberdaya dan mendistribusikannya
secara adil. Karena, mengeluarkan harta (asset) untuk diputar, diusahakan, dan
diinvestasikan secara halal adalah kewajiban syariah. Uang dan harta bukan
untuk ditimbun. membuat aset nganggur (idle) sama dengan memubadzirkan nikmat
Allah dan tidak mensyukurinya.
Uang dibuat untuk dipergunakan.
Berpindah dari tangan ke tangan sebagai alat tukar (medium of excange) dan
pembayaran. Juga alat ekspansi dalam investasi. Jadi, semata-mata hanya alat.
Tidak boleh diubah menjadi tujuan. Apalagi menjadi berhala yang disembah.
“Merugikan hamba dinar, merugilah hamba dirham!” demikian sabda Rasulullah saw.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
nilai-nilai koperasi –yang tampak dalam jatidirinya (Co-operative Identity)
sebagaimana dirumuskan kongres International Co-operative Alliance (ICA) ke-100
di Manchester, Inggris, September 1995 dan disusun kembali Prof. Dr. Ian
MacPherson berupa 7 nilai: menolong diri sendiri, swa tanggung jawab,
demokrasi, persamaan, keadilan, kesetiakawanan dan kejujuran; dan 7 prinsip
operasional, yaitu keanggotaan terbuka dan sukarela, pengendalian oleh anggota
secara demokrasi, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemerdekaan,
pendidikan, pelatihan, dan informasi, kerjasama antar koperasi, dan kepedulian
terhadap lingkungan– secara umum selaras dan serasi dengan nilai-nilai
syari’ah.
Namun, jika kegiatan usahanya tidak
menghindari ketujuh pantangan bisnis syari’ah, koperasi dapat kehilangan
identitas (jatidinya). Koperasi harus meninggalkan praktik riba berupa
penggunaan skim bunga dalam kegiatan usahanya. Tidak menetapkan bunga dalam
kegiatan simpan pinjamnya. Karena, riba bertentangan dengan spirit kemitraan,
keadilan, dan kepedulian terhadap lingkungan. Sistem bunga tidak peduli dengan
nasib debiturnya dan tidak adil dalam penetapan bunga atas pokok modal.
Syari’ah harus diterima dan
diterapkan koperasi secara keseluruhan. Bukan sepotong-potong. Karena,
penerapan yang sepotong-potong tidak menjamin teraktualisasikannya tujuan
koperasi. (Al-Baqarah: 85). “Hai orang-orang yang beriman! Masuk Islamlah kamu
dengan keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena
setan itu adalah musuh yang nyata.” (Al-Baqarah: 208). “Tuhan tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’du:
11)
Dengan teraktualisasikannya
prinsip-prinsip syariah dalam pengelolaan ekonomi, koperasi bisa mewujudkan
keadilan dan menyejahterakan bagi semua. Rahmatan lil ‘alamin. (dkw)
Sumber : alhikmah.ac.id
0 Komentar